Ir. Soekarno
Aku dilahirkan saat matahari terbit, 6 Juni 1901, sehingga ibuku memberi julukan “putra sang fajar”. Ia percaya kelahiranku menandakan terbitnya fajar di abad yang baru, setelah berlalunya abad kesembilan belas yang penuh kegelapan.
Keluargaku terdiri dari empat orang: bapakku, Raden Soekemi Sosrodiharjo, ibuku, Ida Ayu Nyoman Rai, kakakku Soekarmini, dan aku sendiri. Aku dibesarkan di Mojokerto dan bersekolah di Eerste Inlandse School, tempat Bapak menjadi mantri guru, dan kemudian pindah ke Europeesche Lagere School (ELS). Lulus dari ELS, aku masuk Hogere Burger School (HBS) di Surabaya dan tinggal di rumah H.O.S. Tjokroaminoto. Pada bulan Juni tahun 1921, aku pergi ke Bandung dan melanjutkan kuliah di Sekolah Teknik Tinggi (Technische Hoogescmehool/THS). Aku baru berusia 20 tahun saat suatu ilham politik yang kuat menerangi benakku. Di selatan Bandung, aku bertemu petani muda miskin bernama Marhaen. Nama itu lalu kupakai untuk menamai semua orang Indonesia yang bernasib malang sepertinya.
Pada tahun 1922, aku mengalami kesulitan yang pertama. Dalam sebuah rapat besar di Kota Bandung, di tengah pidatoku yang berapi-api, kata “Indonesia” melompat dari mulutku. Rapat itu dihentikan oleh polisi Belanda dan profesor universitas memintaku berhenti berpidato selama masih dalam studi. Janjiku sudah terpenuhi, pendidikanku sudah selesai, tidak ada lagi yang akan menghalangiku berjuang untuk rakyat. Tanggal 4 Juli 1927 adalah waktu yang tepat bagiku untuk mendirikan partaiku sendiri, Partai Nasional Indonesia.
Pada periode tahun 1929 hingga 1942, aku keluar-masuk bui dan diasingkan. Berawal dari Penjara Banceuy, aku lalu dipindahkan ke Penjara Sukamiskin. Setelah itu, aku dibuang ke Ende dan kemudian diasingkan ke Bengkulu. Pada masa pendudukan Jepang tahun 1942, aku dilarikan ke Padang dan akhirnya kembali ke Jakarta. Setelah hampir 13 tahun, masa tahanan dan pembuangan berlalu. Aku bersyukur bisa pulang ke tempatku semula dan menjadi pemimpin rakyatku lagi.
Di tengah rasa sakit, pada tanggal 17 Agustus 1945, kulaksanakan hal yang sudah kurencanakan di Saigon: proklamasi kemerdekaan Indonesia. Saat itu bulan Ramadan, 17 adalah tanggal diturunkannya Alquran, jumlah rakaat salat dalam sehari, dan bertepatan dengan Jumat, hari baik dalam Islam. Aku tidak mau kemerdekaan yang kuperjuangkan sepanjang hidupku diberikan sebagai hadiah kepadaku seperti sedekah kepada pengemis. Kemerdekaan haruslah merupakan buah dari usaha kita sendiri. Apa saja yang melanda, kami akan selalu ingat slogan revolusi: “Sekali merdeka tetap merdeka!”
Bila sudah waktunya untuk pergi, aku hanya ingin menutup mata dengan tenang di tempat tidur, di antara pangkuan Tuhan. Aku ingin beristirahat di tanah airku tercinta dan kesederhanaan dari mana aku dilahirkan. Kuburkanlah aku menurut agama Islam dan di atas batu kecil yang biasa, tulislah: “Di sini, beristirahat Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.”